Thursday 25 April 2013

My Honorable Lecturer: Mr. Rudi Wilson


Menjadi salah satu mahasiswi Sastra Inggris di tanah Padjadjaran menghasilkan banyak cerita. Kalau teman-teman jurusan yang lain cuma cerita tentang teman-temannya, kalau aku memiliki banyak cerita tentang dosen-dosen baru kemudian teman-temanku.

Aku memiliki berbagai macam karakter dosen yang di jurusan lain tidak ada. Entah apa yang membuat mereka beragam seperti ini, tapi setiap dosen punya ciri khas masing-masing.

Kenangan hari pertama masuk kuliah masih sangat menempel di memoriku. Setelah pelajaran Grammar, aku dan teman-teman sekelas masuk ke kelas Essay Writing. Sesosok laki-laki tua yang memakai kemeja berwarna biru, mengenakan kacamata dan masker. Rambutnya sudah banyak yang memutih. Badannya juga besar, sepertinya banyak tumpukan lemak dalam tubuhnya.

Setelah kami semua menempati kursi yang kosong, pria itu mulai berbicara, “silakan bertanya apapun pada saya tetapi jangan yang jawabannya ya atau tidak, dimulai dari yang paling depan.”

Semua mahasiswa mendapat gilirannya bertanya masing-masing. Mahasiswa yang bertanya dengan menggunakan grammar yang berantakan akan langsung disanggah olehnya dan berkata “salah”. Aku semakin gemetar saat giliran itu sudah mendekatiku. Saat itu aku bertanya, “What kind of music do you like?” dan pria itu menjawab pertanyaanku namun aku tidak mengerti jenis musik apa yang tadi beliau sebutkan, karena pengetahuan musikku juga tidak terlalu banyak.

Sambil berjalannya waktu sampai pukul 12.20, kami tahu bahwa namanya adalah Rudi Wilson. Pria ini berasal dari Bandung, beragama Kristen katolik. Beliau sempat menyebutkan umurnya, yang kudengar sudah 83 tahun. Beliau memiliki seorang istri yang berbeda keyakinan dengannya dan tiga orang anak tirinya. Beliau juga menceritakan tentang anak tirinya yang sudah mapan dalam bidang translation yang bisa menghasilkan banyak uang hanya dari jasa translating. Beliau bertempat tinggal di Dago atas. Umurnya yang sudah menginjak tua bukan menjadi penghalang untuk tidak bisa melakukan aktivitas apapun. Beliau ke Jatinangor menggunakan angkutan umum, kendaraan pribadi hanya akan berakhir di kemacetan, katanya. Aku juga melihat bahwa beliau selalu membawa bekal makanan dan minuman yang selalu disiapkan oleh istrinya. Hingga akhirnya kami semua tahu bahwa beliau memakai masker karena sedang ada perawatan dalam rongga mulutnya dan beliau berjanji pada kami akan melepas maskernya dalam waktu beberapa bulan ini. Beliau mulai menjelaskan peraturan-peraturan selama kami menjadi mahasiswanya dengan posisi duduk kaki kiri berada di atas kaki kanan atau sebaliknya hingga kelas selesai.
“Saya kasih kesempatan kalian untuk hadir dalam kelas saya 10x. Kalian punya jatah tidak masuk sebanyak 4x, dan begitu juga saya. Di kelas saya tidak ada UTS dan UAS. Saya akan mengambil nilai pada minggu yang saya tentukan dan mengembalikan hasil nilai kalian seminggu setelah kalian kumpulkan. Kalau kalian mau ke kamar kecil atau keluar saat jam pelajaran saya, silakan saja keluar tanpa harus minta izin. Mau ngerokok dulu di kamar mandi, atau ngeganja sekalipun silakan saja dan jangan pernah minta izin.”

Saat pelajaran beliau berakhir, rasanya kancing-kancing yang mengikat bajuku sudah terlepas. Aku bisa bernapas dengan lega, karena jujur saja aku sangat tegang saat diajar beliau. Beliau adalah orang yang tegas, berprinsip, namun tetap memberikan kebebasan. Ini baru minggu pertama yang ku lewati, bagaimana minggu-minggu selanjutnya? Pikirku.

Di minggu-minggu berikutnya aku semakin mengenal beliau. Beliau selalu mengadakan kuis paling tidak dua minggu sekali, dan saat hasilnya dibagikan akan menjadi momok yang cukup menakutkan karena nilai yang beliau kasih adalah nilai murni tanpa belas kasihan. Hari pertama saat nilai dibagikan, aku mendapat nilai 2. Sejak saat itu aku takut namun bersemangat dalam mempelajari materi yang diajarkan beliau.

Yang masih terngiang dalam otakku adalah saat beliau sedang membagikan nilainya. Nilai yang paling terakhir dibagikan adalah yang memiliki nilai tertinggi di kelas. Saat itu, Vera, dipanggil terakhir dan sudah pasti nilainya paling tinggi. Saat Vera menghampiri beliau untuk mengambil kertas miliknya, beliau berkata “Dungu!”. Kami semua terkejut, Vera yang memiliki nilai nyaris sempurna justru yang dikatai dungu. “Kamu salah disaat semua orang lain benar.” lanjutnya. Vera hanya mengangguk pelan. Kami semua masih dalam keadaan terkejut. Namun lama kelamaan telingaku terbiasa dengan ucpan “dungu” dari beliau yang bisa memotivasi.
Beliau juga selalu berkata kepada kami, “kalian tuh kalau jajan ya jangan jajan cireng, siomay, atau apalah. Jajan tuh yang bergizi sedikit biar kalian cerdas.” Kami hanya membalasnya dengan tertawa.

“Use your brain if you have any.” Quote dari beliau yang selalu menempel di otakku.

“Bisa tidak kalau yang sekarang tidak ada salah?” pertanyaan dari beliau sebelum mulai latihan soal.

“Ini tolong ya, jangan berisik. Ssst!” saat beliau sudah mendengar banyak anak yang mengobrol.

Hingga dalam hitungan bulan, beliau benar-benar menepati janjinya untuk melepas maskernya. Kini aku bisa melihat seluruh bagian wajahnya. Namun agak sedikit aneh awalnya, karena aku selalu melihat beliau dengan maskernya. Bicaranya pun sudah jauh lebih jelas saat masker tidak menempel lagi di bagian mulutnya.

Sebelum UAS tiba, kami menghadiri kelas terakhir Pak Wilson. Saat itu kami diberikan kesempatan untuk bertanya apapun kepada beliau, dan saat itu aku mendapat giliran yang paling awal. Aku bingung harus bertanya apa. Dalam hitungan detik aku memerhatikan beliau dari ujung kepala hingga kaki, akhirnya terlontar pertanyaan “Why do you always wear that blue shirt?” Dan beliau menjawab, “because I have a dozen.” Jawaban yang sontak menimbulkan gelak tawa di antara kami.

Lalu ada juga salah satu dari teman kelasku yang bertanya waktu itu, “bapak kalau liburan kemana pak?” Dan beliau menjawab, “Di rumah saja. Saya kalau liburan pasti nanti akan stress. Yaa…karna tidak ada lagi yang bisa saya katain dungu jika di rumah.” Jawaban yang nyeleneh itu yang membuatku hapal betul bagaimana sosok Pak Wilson.

Oh ya, sebelum minggu-minggu terakhir tiba, beliau meminta kami semua untuk membawa uang koin seribuan—aku lupa untuk apa. Saat pelajarannya tiba, beliau meminta kami untuk menyerahkan uang koin seribunya, dan banyak dari kami yang lupa. Beliau benar-benar memiliki ingatan yang sangat kuat meskipun umurnya sudah jauh dari kata muda. Bahkan daya ingatnya lebih tajaman beliau dibandingkan dengan mahasiswanya. “Saya kan tidak pernah minta apa-apa pada kalian. Masa kalian diminta mengumpulkan koin seribu saja lupa?” Katanya waktu beberapa dari kami lupa. Beliau memang hebat.

Sosok Pak Wilson benar-benar tidak akan pernah membuatku lupa akan semua sifatnya yang tegas, berprinsip, selalu memotivasi, dan nyeleneh. Terima kasih Pak, saya sudah belajar banyak hal dari bapak. Saya merasa beruntung sekali pernah menjadi mahasiswi bapak. Selamat jalan Pak Wilson, semoga tenang disana ya Pak :')

(Nurin, Anni, Wisny, Netti, Vera, Pak Icon, Rizky, Tommy)

No comments:

Post a Comment