Menjadi salah satu mahasiswi Sastra Inggris di tanah
Padjadjaran menghasilkan banyak cerita. Kalau teman-teman jurusan yang lain
cuma cerita tentang teman-temannya, kalau aku memiliki banyak cerita tentang
dosen-dosen baru kemudian teman-temanku.
Aku memiliki berbagai macam karakter dosen yang di jurusan
lain tidak ada. Entah apa yang membuat mereka beragam seperti ini, tapi setiap
dosen punya ciri khas masing-masing.
Kenangan hari pertama masuk kuliah masih sangat menempel di
memoriku. Setelah pelajaran Grammar,
aku dan teman-teman sekelas masuk ke kelas Essay
Writing. Sesosok laki-laki tua yang memakai kemeja berwarna biru,
mengenakan kacamata dan masker.
Rambutnya sudah banyak yang memutih. Badannya juga besar, sepertinya banyak
tumpukan lemak dalam tubuhnya.
Setelah kami semua menempati kursi yang kosong, pria itu
mulai berbicara, “silakan bertanya apapun pada saya tetapi jangan yang
jawabannya ya atau tidak, dimulai dari yang paling depan.”
Semua mahasiswa mendapat gilirannya bertanya masing-masing.
Mahasiswa yang bertanya dengan menggunakan grammar
yang berantakan akan langsung disanggah olehnya dan berkata “salah”. Aku
semakin gemetar saat giliran itu sudah mendekatiku. Saat itu aku bertanya, “What kind of music do you like?” dan
pria itu menjawab pertanyaanku namun aku tidak mengerti jenis musik apa yang
tadi beliau sebutkan, karena pengetahuan musikku juga tidak terlalu banyak.
Sambil berjalannya waktu sampai pukul 12.20, kami tahu bahwa
namanya adalah Rudi Wilson. Pria ini berasal dari Bandung, beragama Kristen
katolik. Beliau sempat menyebutkan umurnya, yang kudengar sudah 83 tahun.
Beliau memiliki seorang istri yang berbeda keyakinan dengannya dan tiga orang
anak tirinya. Beliau juga menceritakan tentang anak tirinya yang sudah mapan dalam
bidang translation yang bisa
menghasilkan banyak uang hanya dari jasa translating.
Beliau bertempat tinggal di Dago atas. Umurnya yang sudah menginjak tua bukan
menjadi penghalang untuk tidak bisa melakukan aktivitas apapun. Beliau ke
Jatinangor menggunakan angkutan umum, kendaraan pribadi hanya akan berakhir di
kemacetan, katanya. Aku juga melihat bahwa beliau selalu membawa bekal makanan
dan minuman yang selalu disiapkan oleh istrinya. Hingga akhirnya kami semua
tahu bahwa beliau memakai masker karena sedang ada perawatan dalam rongga
mulutnya dan beliau berjanji pada kami akan melepas maskernya dalam waktu
beberapa bulan ini. Beliau mulai menjelaskan peraturan-peraturan selama kami
menjadi mahasiswanya dengan posisi duduk kaki kiri berada di atas kaki kanan
atau sebaliknya hingga kelas selesai.
“Saya kasih kesempatan kalian untuk hadir dalam kelas saya
10x. Kalian punya jatah tidak masuk sebanyak 4x, dan begitu juga saya. Di kelas
saya tidak ada UTS dan UAS. Saya akan mengambil nilai pada minggu yang saya
tentukan dan mengembalikan hasil nilai kalian seminggu setelah kalian
kumpulkan. Kalau kalian mau ke kamar kecil atau keluar saat jam pelajaran saya,
silakan saja keluar tanpa harus minta izin. Mau ngerokok dulu di kamar mandi,
atau ngeganja sekalipun silakan saja dan jangan pernah minta izin.”
Saat pelajaran beliau berakhir, rasanya kancing-kancing yang
mengikat bajuku sudah terlepas. Aku bisa bernapas dengan lega, karena jujur
saja aku sangat tegang saat diajar beliau. Beliau adalah orang yang tegas, berprinsip,
namun tetap memberikan kebebasan. Ini
baru minggu pertama yang ku lewati, bagaimana minggu-minggu selanjutnya?
Pikirku.
Di minggu-minggu berikutnya aku semakin mengenal beliau.
Beliau selalu mengadakan kuis paling tidak dua minggu sekali, dan saat hasilnya
dibagikan akan menjadi momok yang cukup menakutkan karena nilai yang beliau
kasih adalah nilai murni tanpa belas kasihan. Hari pertama saat nilai
dibagikan, aku mendapat nilai 2. Sejak saat itu aku takut namun bersemangat
dalam mempelajari materi yang diajarkan beliau.
Yang masih terngiang dalam otakku adalah saat beliau sedang
membagikan nilainya. Nilai yang paling terakhir dibagikan adalah yang memiliki
nilai tertinggi di kelas. Saat itu, Vera, dipanggil terakhir dan sudah pasti
nilainya paling tinggi. Saat Vera menghampiri beliau untuk mengambil kertas
miliknya, beliau berkata “Dungu!”. Kami semua terkejut, Vera yang memiliki
nilai nyaris sempurna justru yang dikatai dungu. “Kamu salah disaat semua orang
lain benar.” lanjutnya. Vera hanya mengangguk pelan. Kami semua masih dalam
keadaan terkejut. Namun lama kelamaan telingaku terbiasa dengan ucpan “dungu”
dari beliau yang bisa memotivasi.
Beliau juga selalu berkata kepada kami, “kalian tuh kalau
jajan ya jangan jajan cireng, siomay, atau apalah. Jajan tuh yang bergizi
sedikit biar kalian cerdas.” Kami hanya membalasnya dengan tertawa.
“Use your brain if you
have any.” Quote dari beliau yang selalu menempel di otakku.
“Bisa tidak kalau yang sekarang tidak ada salah?” pertanyaan
dari beliau sebelum mulai latihan soal.
“Ini tolong ya, jangan berisik. Ssst!” saat beliau sudah
mendengar banyak anak yang mengobrol.
Hingga dalam hitungan bulan, beliau benar-benar menepati
janjinya untuk melepas maskernya. Kini aku bisa melihat seluruh bagian
wajahnya. Namun agak sedikit aneh awalnya, karena aku selalu melihat beliau
dengan maskernya. Bicaranya pun sudah jauh lebih jelas saat masker tidak
menempel lagi di bagian mulutnya.
Sebelum UAS tiba, kami menghadiri kelas terakhir Pak Wilson.
Saat itu kami diberikan kesempatan untuk bertanya apapun kepada beliau, dan
saat itu aku mendapat giliran yang paling awal. Aku bingung harus bertanya apa.
Dalam hitungan detik aku memerhatikan beliau dari ujung kepala hingga kaki,
akhirnya terlontar pertanyaan “Why do you
always wear that blue shirt?” Dan beliau menjawab, “because I have a dozen.” Jawaban yang sontak menimbulkan gelak
tawa di antara kami.
Lalu ada juga salah satu dari teman kelasku yang bertanya
waktu itu, “bapak kalau liburan kemana pak?” Dan beliau menjawab, “Di rumah
saja. Saya kalau liburan pasti nanti akan stress. Yaa…karna tidak ada lagi yang
bisa saya katain dungu jika di rumah.”
Jawaban yang nyeleneh itu yang
membuatku hapal betul bagaimana sosok Pak Wilson.
Oh ya, sebelum minggu-minggu terakhir tiba, beliau meminta
kami semua untuk membawa uang koin seribuan—aku lupa untuk apa. Saat
pelajarannya tiba, beliau meminta kami untuk menyerahkan uang koin seribunya,
dan banyak dari kami yang lupa. Beliau benar-benar memiliki ingatan yang sangat
kuat meskipun umurnya sudah jauh dari kata muda. Bahkan daya ingatnya lebih
tajaman beliau dibandingkan dengan mahasiswanya. “Saya kan tidak pernah minta
apa-apa pada kalian. Masa kalian diminta mengumpulkan koin seribu saja lupa?”
Katanya waktu beberapa dari kami lupa. Beliau memang hebat.
Sosok Pak Wilson benar-benar tidak akan pernah membuatku
lupa akan semua sifatnya yang tegas, berprinsip, selalu memotivasi, dan nyeleneh.
Terima kasih Pak, saya sudah belajar banyak hal dari bapak. Saya merasa
beruntung sekali pernah menjadi mahasiswi bapak. Selamat jalan Pak Wilson,
semoga tenang disana ya Pak :')
(Nurin, Anni, Wisny, Netti, Vera, Pak Icon, Rizky, Tommy)
No comments:
Post a Comment