Thursday 3 July 2014

Teruntuk Pemimpin Hebat Bangsa ini

Teruntuk Pemimpin hebat Bangsa ini,

Bagaimana kabarmu, Pak? Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi dalam setiap langkahmu untuk membuat Negeri ini menjadi jauh lebih baik. Amin. Aku menulis ini untuk sekedar membuatmu tahu tentang paradigma yang dimiliki oleh sebagian orang bangsa ini, Pak.

Didoakeun ku nini neng matak pinter, soleh nya neng, amiin.

Itulah ujar salah seorang nenek yang saat itu aku kunjungi rumahnya karena ingin bertemu dengan cucunya untuk sekedar mengajak ngobrol dan belajar.

Sebelumnya, Pak, aku ini hanyalah seorang mahasiswi biasa, yang tidak begitu pintar, namun beruntungnya aku berada di lingkungan yang SDMnya baik. Terlahir dari anak seorang guru TK, ibuku menularkan kesukaannya terhadap anak-anak padaku. Sejak duduk di bangku kuliah, aku memantapkan diriku untuk sekedar meluangkan sedikit waktuku pada orang lain, khususnya orang-orang yang ada di sekitarku. Selama periode tiga semester, aku berhasil membagi waktuku dengan anak-anak di SDN Banyuresmi, Sumedang. Ingin mengembangkan diriku dengan anak-anak lebih dalam lagi, aku mengikuti organisasi yang berlatar belakang mengajar anak-anak di Sukanegla, Jatinangor. Namun, aku tidak hanya berinteraksi dengan anak-anak saja, melainkan dengan para orang tua di daerah yang masih sangat asri itu.

Kesan pertama yang ada dalam benakku setelah beberapa kali berinteraksi dengan para warga di Sukanegla adalah aku bagaikan raja. Mengapa demikian? Aku merasa sangat dihormati dan dijunjung sekali sebagai mahasiswa. Padahal, aku belum mendapatkan gelar sarjanaku dan mereka pun tidak tahu berapa IPKku, tapi mereka sudah membuat kami, para mahasiswa, seperti seorang raja, seseorang yang tahu segalanya.

Saat aku berkunjung ke rumah Nenek salah satu muridku, aku mendalami sekali apa yang ada di benak salah satu warga Sukanegla. Nenek itu selalu memujiku dalam setiap maksud yang ia sampaikan. Bahkan, ia memintaku untuk mencarikannya pekerjaan, atau paling tidak mempekerjakannya. Nenek itu beranggapan bahwa aku ini mahasiswa, yang kuliah dan punya uang.

Sejujurnya Pak, aku sangat lelah dengan paradigma itu. Aku lelah dengan paradigma bahwa mahasiswa adalah yang paling pintar, yang tahu segalanya, atau yang bisa segalanya. Tidak Nek, aku tidak tahu banyak tentang pengalaman hidup ini seperti Nenek. Aku baru menjalani hidup ini selama 20 tahun, Nek.

Mengapa harus ada diskriminasi profesi? Aku tidak tahu mengapa hal ini bisa terjadi. Apakah masyarakat desa yang terlalu rendah hati? Ataukah memang ada faktor-faktor lain yang membentuk paradigma seperti pada masyarakat yang berada di pinggiran kota di Indonesia?

Aku bisa sedikit menyusuri apa yang ada di pikiran para masyarakat di sekitar kampusku. Memiliki kendaraan pribadi sendiri, memakai pakaian yang bisa dikatakan sangat baik, dan memiliki gadget yang canggih, mungkin menjadi tolak ukur “mahasiswa” yang selama ini mereka lihat. Mereka berpikir bahwa dengan kondisi yang serba cukup, mahasiswa tentu bisa fokus dalam belajarnya. Tidak ada hal lain yang seharusnya dipikirkan oleh mahasiswa selain belajar.

Saat aku diberi beban yakni anggapan para masyarakat sekitar kampusku bahwa mahasiswa adalah yang tahu segalaya, aku hanya takut Pak. Aku takut tidak bisa mempertanggungjawabkan pemikiran itu. Aku, sebagai mahasiswa, hanya ingin menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar kampusku, bukan berarti dianggap seperti raja. Aku, seorang mahasiswa, masih harus belajar banyak dari masyarakat Sukanegla, bukan berarti dianggap yang tahu segalanya.

Untuk siapapun yang kelak akan menjadi Pemimpin Bangsa ini, aku harap Bapak bisa menghapuskan diskriminasi profesi itu, karena sesungguhnya, aku takut jika suatu saat aku melakukan kesalahan, mereka akan langsung memicingkan matanya, mengerutkan keningnya, dan menajamkan lidahnya padaku.

Terima kasih, Pak.


No comments:

Post a Comment