Teruntuk Pemimpin hebat Bangsa ini,
Bagaimana kabarmu, Pak? Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa melindungi dalam setiap langkahmu untuk membuat Negeri ini menjadi
jauh lebih baik. Amin. Aku menulis ini untuk sekedar membuatmu tahu tentang
paradigma yang dimiliki oleh sebagian orang bangsa ini, Pak.
Didoakeun ku nini neng
matak pinter, soleh nya neng, amiin.
Itulah ujar salah seorang nenek yang saat itu aku kunjungi
rumahnya karena ingin bertemu dengan cucunya untuk sekedar mengajak ngobrol dan
belajar.
Sebelumnya, Pak, aku ini hanyalah seorang mahasiswi biasa,
yang tidak begitu pintar, namun beruntungnya aku berada di lingkungan yang
SDMnya baik. Terlahir dari anak seorang guru TK, ibuku menularkan kesukaannya
terhadap anak-anak padaku. Sejak duduk di bangku kuliah, aku memantapkan diriku
untuk sekedar meluangkan sedikit waktuku pada orang lain, khususnya orang-orang
yang ada di sekitarku. Selama periode tiga semester, aku berhasil membagi
waktuku dengan anak-anak di SDN Banyuresmi, Sumedang. Ingin mengembangkan
diriku dengan anak-anak lebih dalam lagi, aku mengikuti organisasi yang
berlatar belakang mengajar anak-anak di Sukanegla, Jatinangor. Namun, aku tidak
hanya berinteraksi dengan anak-anak saja, melainkan dengan para orang tua di
daerah yang masih sangat asri itu.
Kesan pertama yang ada dalam benakku setelah beberapa kali
berinteraksi dengan para warga di Sukanegla adalah aku bagaikan raja. Mengapa
demikian? Aku merasa sangat dihormati dan dijunjung sekali sebagai mahasiswa.
Padahal, aku belum mendapatkan gelar sarjanaku dan mereka pun tidak tahu berapa
IPKku, tapi mereka sudah membuat kami, para mahasiswa, seperti seorang raja,
seseorang yang tahu segalanya.
Saat aku berkunjung ke rumah Nenek salah satu muridku, aku
mendalami sekali apa yang ada di benak salah satu warga Sukanegla. Nenek itu selalu
memujiku dalam setiap maksud yang ia sampaikan. Bahkan, ia memintaku untuk
mencarikannya pekerjaan, atau paling tidak mempekerjakannya. Nenek itu
beranggapan bahwa aku ini mahasiswa, yang kuliah dan punya uang.
Sejujurnya Pak, aku sangat lelah dengan paradigma itu. Aku
lelah dengan paradigma bahwa mahasiswa adalah yang paling pintar, yang tahu
segalanya, atau yang bisa segalanya. Tidak Nek, aku tidak tahu banyak tentang
pengalaman hidup ini seperti Nenek. Aku baru menjalani hidup ini selama 20
tahun, Nek.
Mengapa harus ada diskriminasi profesi? Aku tidak tahu
mengapa hal ini bisa terjadi. Apakah masyarakat desa yang terlalu rendah hati?
Ataukah memang ada faktor-faktor lain yang membentuk paradigma seperti pada
masyarakat yang berada di pinggiran kota di Indonesia?
Aku bisa sedikit menyusuri apa yang ada di pikiran para
masyarakat di sekitar kampusku. Memiliki kendaraan pribadi sendiri, memakai
pakaian yang bisa dikatakan sangat baik, dan memiliki gadget yang canggih, mungkin menjadi tolak ukur “mahasiswa” yang
selama ini mereka lihat. Mereka berpikir bahwa dengan kondisi yang serba cukup,
mahasiswa tentu bisa fokus dalam belajarnya. Tidak ada hal lain yang seharusnya
dipikirkan oleh mahasiswa selain belajar.
Saat aku diberi beban yakni anggapan para masyarakat sekitar
kampusku bahwa mahasiswa adalah yang tahu segalaya, aku hanya takut Pak. Aku
takut tidak bisa mempertanggungjawabkan pemikiran itu. Aku, sebagai mahasiswa,
hanya ingin menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar kampusku,
bukan berarti dianggap seperti raja. Aku, seorang mahasiswa, masih harus
belajar banyak dari masyarakat Sukanegla, bukan berarti dianggap yang tahu
segalanya.
Untuk siapapun yang kelak akan menjadi Pemimpin Bangsa ini,
aku harap Bapak bisa menghapuskan diskriminasi profesi itu, karena
sesungguhnya, aku takut jika suatu saat aku melakukan kesalahan, mereka akan
langsung memicingkan matanya, mengerutkan keningnya, dan menajamkan lidahnya
padaku.
Terima kasih, Pak.