Bukanlah dunia yang kutahu banyak tentangnya, mendengarnya
saja membuatku sedikit tersentak. Aku, mahasiswi yang sangat awam terhadap
politik, tidak terlalu memerhatikan “politik” yang ada di lingkar kepalaku.
Entahlah, mungkin juga tidak peduli. Semenjak aku bertemu banyak orang di
hidupku, kata itu terasa makin dekat denganku. Semua orang berpolitik,
ternyata, mengindikasikan bahwa tidak semua orang sepenuhnya baik. Jangan tidak
siap untuk mengakuinya, kamu pun begitu.
Salahkah jika kita melakukannya? Menurutku, itu sudah
menjadi sifat alamiah semua orang. Kekuasaan. Tentu tidak ada orang yang tidak
ingin dilihat. Janganlah munafik, mahasiswa sejujurnya sangat pintar kan dalam
ber”politik”? Tidak salah kok, yang terpenting adalah bagaimana menyiasati
kata-kata “politik” itu sendiri agar tidak terdengar kasar di telinga.
Mataku terbuka lebar menyadari bahwa jalan ini terlalu luas
jika dilewati oleh 1-2 mobil saja. Dalam kata lain, kemana aja lo, Wis? Satu hal yang pastinya tidak akan kusesali;
bertemu banyak orang dengan berbagai macam pengalaman dan karakter pasti akan
membuat kita jauh berkembang. Meskipun agak terlambat, tapi daripada aku tidak
bertemu dengan orang-orang macam ini sama sekali.
Pendekatan yang dia lakukan untuk menyiasati makna “politik”
layaknya sutra yang berhasil dibuat oleh laba-laba; lengket, elastis, dan
sangat kuat. Mengetahui siapa saja yang menjadi oposisi kita merupakan langkah
awal yang harus ada saat kita mulai ber”politik”. Selanjutnya kita hanya harus
membiasakan diri dengan berbagai macam taktik untuk bisa ber”politik” dengan
baik.
Satu kalimat yang memiliki banyak interpretasi yang aku
dapat malam ini, “pemimpin itu tidak disetir”.